Mengurai Gejala, Menimbang Syariat, Menguatkan Kearifan Lokal
Oleh : Abdul Halim, Lc., LL.M
Oleh : Abdul Halim, Lc., LL.M
Mahasiswa Doktoral UIN Sultanah Nahrasiah Lhokseumawe.
![]() |
Ustadz Abdul Halim, Lc., LL.M. Foto: Ist |
Pendahuluan, bicara soal data yang memancing emosi.
LHOKSEUMAWE, ReportNews.id- Dalam beberapa tahun terakhir, Aceh menghadapi dua aliran besar yang saling terkait: aliran digital yang memicu budaya FoMO (fear of missing out) di kalangan Generasi Z, serta aliran sosial yang mencatat peningkatan kasus kekerasan, termasuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak serta pelanggaran terhadap Qanun Syariat Islam. Data dari UPTD PPA Pemerintah Aceh menunjukkan ada 1.098 kasus pada tahun 2023, terdiri dari 464 kasus terhadap perempuan dan 634 pada anak.
Pada tahun 2024, jumlahnya meningkat menjadi 1.227 kasus (571 kasus pada perempuan dan 656 pada anak). Angka ini menunjukkan beban dalam layanan perlindungan yang terus bertambah, sekaligus memerlukan upaya pencegahan yang lebih dalam di lingkungan keluarga, sekolah, dan komunitas dayah. (https://rri.co.id/08/5/2025).
Dikutip dari web diskominfo.bandaacehkota.go.id, berita tertanggal 14 Januari 2025 menyebutkan tentang ranah penegakan syariat. Data Pemerintah Kota Banda Aceh menunjukkan jumlah pelanggaran Syari’at Islam pada tahun 2023 sebanyak 204 kasus, dengan 25 kasus berujung persidangan dan pemberian cambuk. Sementara pada tahun 2024 tercatat 115 pelanggaran, dari 35 kasus dipersidangkan, sisanya diberi pembinaan. Tren ini menunjukkan perubahan dalam kepatuhan terhadap Syar’at Islam, sebagian menurun karena adanya pembinaan lebih dini, sementara sebagian lain berubah bentuknya sesuai dengan cara sosialisasi digital.
Pada tingkat provinsi, melalui laman resmi dsi.acehprov.go.id, Laporan Kinerja Dinas Syariat Islam Aceh tahun 2023 menyoroti peningkatan jumlah pelanggaran jinayat tertentu, di antaranya khamar meningkat dari 13 menjadi 23 kasus, zina dari 28 menjadi 38 kasus, dan pemerkosaan dari 136 menjadi 177 kasus (ringkasan indikator). Gelombang penegakan masih terus berlangsung, pada 20 Agustus 2025, Pemko Banda Aceh menyegel sementara sebuah hotel karena diduga melanggar Qanun Jinayat, menegaskan bahwa kepatuhan terhadap syariat bukan hanya norma abstrak, tetapi juga bagian dari tata tertib publik (https://prokopim.bandaacehkota.go.id).
Di sisi lain, perkembangan digitalisasi
membentuk lanskap psikososial baru. Kajian remaja Indonesia menemukan sekitar 64,6% responden mengalami gejala FoMO; temuan lain memperkuat hubungan negatif antara kontrol diri dan FoMO (semakin lemah kontrol diri, semakin tinggi FoMO). Di Aceh, riset perilaku phubbing (sibuk menggunakan gawai, mengabaikan lawan bicara) pada Gen Z menunjukkan mayoritas berada pada tingkat sedang hingga tinggi. Gejala ini sering menjadi pintu masuk pada lemahnya perhatian, impulsivitas, dan penurunan empati sosial. (https://ejournal3.undip.ac.id/).
Apa itu FoMO dan mengapa hal ini penting di Aceh?
FoMO adalah perasaan cemas karena merasa tertinggal dari sesuatu yang sedang terjadi di sekitar orang lain, terutama yang terlihat di media sosial. Di kalangan generasi muda, FoMO sering muncul dalam bentuk kebiasaan memeriksa ponsel terus-menerus, ikut tren tanpa pikir panjang, dan mencari pengakuan dari orang lain melalui like, tayangan atau haus komentar.
Di tengah masyarakat Aceh yang sangat menghargai Syariat Islam dengan tujuannya/Maqasid Syari’ah, terutama pilar hifz ad-din (mempertahankan agama), hifz an-nafs (mempertahankan jiwa), dan hifz al-‘irdh (mempertahankan kehormatan), FoMO menjadi relevan karena menggeser fokus seseorang dari mencari ridha Allah menjadi mencari perhatian dan pujian orang lain.
Ketika viral lebih diutamakan daripada hal yang bernilai, moral generasi muda bisa terganggu. Selain itu, FoMO juga bisa memperluas pengaruh pada konten yang mendorong perilaku berisiko, seperti tantangan berbahaya, membagikan data pribadi secara berlebihan, atau tindakan pelecehan yang tersembunyi dalam prank atau broadcast pribadi.
Banyak kasus kekerasan di era digital, seperti grooming, sextortion, dan pembagian konten tanpa izin, sering terjadi di ruang digital, sehingga perang melawan kekerasan membutuhkan literasi digital yang setara dengan pemahaman tentang syariat.
Laporan dari layanan UPTD PPA Aceh dan media lokal pada periode 2023–2024 menunjukkan adanya peningkatan pengaduan melalui media daring. Hal ini menunjukkan perubahan pola tindakan sekaligus membuka peluang untuk melakukan intervensi lebih cepat. (https://masakini.co/2024/10/15/).
Tantangan moral Gen Z dalam konteks sosial Aceh ada tiga.
Pertama, krisis pengendalian diri di tengah era scrolling. Penelitian menunjukkan, semakin rendah kontrol diri, semakin tinggi rasa takut ketinggalan (FoMO). Di lapangan, masalah ini terlihat sebagai sifat impulsif, rentan mengikuti tekanan teman, serta kesulitan menunda kepuasan. Hal ini mengurangi kesadaran akan kepatuhan terhadap aturan agama, seperti menahan diri dari hal yang bersifat syubhat atau haram. Di sekolah dan kampus, kebiasaan menggantikan perhatian dengan ponsel mengganggu hubungan antara guru dan murid, atau antar santri dan teungku. Di rumah, perilaku ini memutus komunikasi antara orang tua dan anak, mengurangi pengaruh positif dari generasi tua yang seharusnya bisa menjadi contoh nilai di Aceh.
Kedua, munculnya kebiasaan pamer dan sensualisasi yang halus. Algoritma media sosial sering mempromosikan konten yang bersifat performative seperti pamer gaya hidup atau konten yang menyerupai pornografi berkedok tren fashion atau tantangan menari. Dalam perspektif Qanun dan nilai adat lokal Aceh, batas aurat dan interaksi antarjenis bukan hanya ranah privasi, tetapi juga tanggung jawab sosial untuk menjaga kehormatan (‘irdh).
Ketiga, penyebaran kajian online dengan ustaz yang populer. Akses informasi yang mudah tidak selalu disertai kemampuan untuk menilai kredibilitas sumber atau refensi ilmu pengetahuan yang bersanad, Gen Z Aceh hari ini bisa memperoleh kajian kitab, halaqah, dan penjelasan dari ustaz melalui kajian online dari para Teungkua tau Ustadz yang viral; di sisi lain, tanpa menimbang dari mana sumber ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai total ukur dalam interaksi sosial dan menyimpulkan sebuah hukum Fikih serta menjadi pedoman dalam berakidah, kontek ceramah dan kajian sosial juga memiliki tantangn tersendiri di era serba digital. Terlebih lagi cacian dan makian (Teumeunak) sudah menjadi hal lazim didalam interaksi media sosial, bahkan ujaran kebencian pun ikut masuk dalam kajian tersebut. Hal ini memicu rasa kelelahan moral, di mana generasi ini bingung memilih rujukan, akhirnya mengikuti arus yang mungkin tidak sejalan dengan Qanun dan kearifan local Masyarakat Aceh.
Islam tidak hanya sekadar aturan, tetapi juga menjadi pedoman kebaikan.
Penerapan syariat seringkali hanya dipahami sebagai tindakan menindak pelanggaran. Padahal, Qanun dan Syari’at juga membentuk lingkungan sosial yang sehat, seperti membangun iman, menciptakan adab, serta menjaga ruang interaksi yang positif sesuai dengan tujuan syariat (maqāshid asy-syarī‘ah) itu sendiri, menjadi hikmah dalam menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam konteks FoMO, menjaga akal (hifz al-‘aql) membutuhkan pengendalian digital, seperti memilih konten, mengatur waktu, dan menggunakan teknologi secara bijak.
Menjaga keturunan (hifz an-nasl) memerlukan pengawasan interaksi antarjenis di mana pun, serta etika dan qanun pageu gampong yang telah disepakati oleh masyarakat. Sementara itu, menjaga agama (hifz ad-din) bisa dilakukan melalui penekanan ibadah fardhu/wajib sehingga menjadi rutinitas, seperti shalat subuh berjamaah ditambah dzikir, atau membaca Al-Qur'an, sebagai cara untuk mengurangi kecemasan akibat FoMO.
Dari sisi kebijakan Siasah Syar’iah, misalnya data pengawasan di Banda Aceh 2023 dan 2024, tindakan pemerintah terbaru seperti penutupan hotel pada 20 Agustus 2025 menunjukkan bahwa peraturan dan pengawasan tetap penting sebagai bentuk pelaksanaan Hisbah/ dalam masyarakat.
Namun, penguatan harus menggunakan pendekatan psikopedagogis seperti literasi digital, pelatihan pengendalian diri, dan mentoring sesama remaja di masjid atau dayah.
Kearifan lokal Aceh, sebagai konsep utama dalam Al-Wiqayah, memiliki modal sosial yang kuat untuk mencegah dampak FoMO. Diantaranya:
Pertama, Dayah dan balai pengajian berperan sebagai ruang pembinaan jiwa yang bisa mengintegrasikan dalam kurikulum fikih digital seperti adab bermedsos, menjaga pandangan di layar, dan hukum tentang pengambilan informasi.
Kedua, struktur gampong, mukim, tuha peut, imum meunasah, keuchik dan pemuda bisa mengembangkan Majelis Remaja Gampong, yaitu forum bulanan yang menggabungkan kajian akhlak dengan kelas literasi digital, dan klinik konseling remaja untuk menangani keluhan seperti perundungan/bulli siber dan pelecehan dalam ranah platform digital.
Ketiga, nilai peumulia jamee dan musyawarah yang mementingkan tamu dan musyawarah bisa diadaptasi ke ruang digital dengan cara sopan santun dalam berkomentar, menyelesaikan konflik dengan musyawarah online dan membuat aturan perilaku bagi komunitas konten kreator lokal.
Keempat, Satgas Gampong (sapa, jaga, dan peuingat) adalah mekanisme peringatan awal oleh relawan gampong untuk mendeteksi tanda-tanda FoMO berisiko negatif. seperti konten joget diruang publik, teumeunak/cacian dan makian, cerita tidak senonoh berbau pornografi bahkan konten menantang seperti mengumbar aurat di media sosial, selama dilakukan di wilayah control gampong, maka segera ditindak oleh tim Satgas Gampong.
Strategi praktis yang diterapkan mulai dari keluarga hingga kebijakan.
Pertama, keluarga sebagai madrasah, perlu menerapkan aturan layar yang disepakati, seperti zona tanpa ponsel (meja makan dan kamar tidur), batas waktu layar yang terukur, serta hari libur digital selama 12-24 jam tanpa media sosial. Keterampilan kontrol diri bisa dilatih dengan dzikir, jeda 1 menit sebelum merespons notifikasi, atau membaca satu halaman Al-Qur'an sebelum membuka aplikasi hiburan.
Orang tua juga harus menjadi contoh yang baik, karena penggunaan ponsel yang terlalu sering bisa menular. Quality Time, Dimana keluarga bisa membuat motto seperti "Ayah/Ibu menyimpan ponsel selama 1 jam untuk berdiskusi bersama anak-anak."
Kedua, Sekolah dan Dayah perlu mengintegrasikan modul fiqh media sosial, seperti aturan aurat di kamera, adab live streaming, hukum berbagi konten intim, serta konsekuensi cybercrime menurut Qanun Jinayat. Mereka juga bisa membentuk Tim Sahabat Konselor yang dilatih oleh Dayah untuk menangani pelaporan grooming atau pelecehan digital secara anonim.
Selain itu, penyelenggaraan kompetisi kreatif anti-FoMO seperti tantangan "24 Jam Tanpa Scrolling" atau lomba video pendek dengan tema "malu itu bagian dari iman" yang melibatkan influencer lokal yang paham syariat bisa menjadi solusi terhadap anti-FoMO.
Ketiga, pemerintah daerah dan OPD terkait seperti Dinas Syariat Islam, Dinas Pendidikan, DP3A, serta Satpol PP dan WH perlu mengembangkan pelayanan terpadu yang menggabungkan data Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dengan pelanggaran Qanun, dan tren aduan siber.
Data terbuka SATU DATA ACEH mengenai pelanggaran syariat sudah ada, tinggal diintegrasikan lintas sektor agar kebijakan lebih tepat sasaran. Program "Hisbah Digital" juga bisa dilakukan dengan patroli konten edukatif, fitur laporan yang terhubung ke UPTD PPA, dan kerja sama dengan operator seluler untuk mengirimkan pesan SMS berkala mengenai literasi syariah kepada pengguna media sosial yang meresahkan. Selain itu, ada skema insentif untuk sekolah dan dayah yang berhasil menurunkan indikator FoMO berisiko seperti bolos, pelanggaran adab, dan kasus perundungan siber selama setahun berturut-turut.
Penutup: Mengembalikan budaya malu di masa kini yang terkikis dan dipengaruhi oleh scroll dan rasa takut ketinggalan (FoMO) adalah tanda akhir zaman, bukan nasib yang ditentukan untuk generasi. Generasi Z di Aceh memiliki potensi yang luar biasa: mereka mahir teknologi, kreatif, dan berani menunjukkan diri.
Tantangannya terletak pada arah dalam mengekspresikan diri tersebut. Jika trending dan viral sebagai tujuan utama, nilai-nilai muru’ah (harga diri) akan melemah dan mengikis rasa malu, angka kekerasan serta pelanggaran syariat juga ikut meningkat. Namun, jika tren dipandu oleh keimanan, adab, dan kearifan lokal, kita harus menciptakan generasi yang cerdas dalam berteknologi, namun memiliki moral dan sopan santun, bermanfaat di dunia, dan mulia di akhirat.
Mulai dari keluarga hingga kebijakan, dari gampong hingga pengawasan digital, dari lembaga pendidikan hingga media sosial, kita memiliki alat: Maqāshid sebagai panduan, Qanun sebagai batasan, Dayah sebagai pusat pembelajaran, dan keluarga sebagai pengayom dan berkasih sayang, dengan semua ini, FoMO bisa kita ubah: dari rasa takut ketinggalan menjadi kepercayaan untuk melangkah maju dengan iman yang mengarahkan, bukan ikut-ikutan tanpa tujuan. Aceh, Tanoh Aulia, dan Bumoe Syuhada dengan keluhuran dan kemuliaan yang diwariskan, bisa menjadi contoh baru dalam menjadi warga digital yang tetap sesuai syariat.
Mari kita kawal, kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi, wujudkan teknologi yang Islami.
Posting Komentar