![]() |
20 Tahun MoU Helsinki: Suara Korban Pelanggaran HAM Aceh Belum Didengar. Foto: Ist |
ACEH UTARA, ReportNews.id - Tidak ada program khusus Pemulihan Trauma dan pemberdayaan bagi korban konflik. Dampak serius, salah satu Korban Tragedi Simpang KKA mengalami gangguan kejiwaan.
Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA ( FK3T-SP.KKA ) , Kamis (14/07/2025). Koordinator FK3T-SP.KKA ( Murtala 54 Thn ), kembali melakukan silaturahmi ke salah satu rumah Korban Tragedi Simpang KKA yang mengalami gangguan kejiwaan di Kabupaten Bireuen. Dalam silaturahmi tersebut keluarga korban ( Muhammad Syukur 40 Thn ) Kakak Korban Sri Wahyuni dan Ibu Korban Kamaliah Amin menyampaikan harapan agar Muhammad Syukur adanya penanganan khusus serta keadilan kepada Prov Aceh dan Pemerintah Pusat. Untuk sekadar diketahui, Muhammad Syukur adalah salah satu korban penembakan pada peristiwa Tragedi Simpang KKA, 03 Mei 1999 di bagian perut dan saat ini masih mengalami gangguan kejiwaan.
Pada 15 Agustus 2025 mendatang usia perdamaian di Provinsi Aceh genap 20 tahun. Namun, pemulihan dan reparasi bagi korban kekerasan konflik masih jauh dari harapan. Masih adakah yang sudi mendengar suara korban?
Kamaliah Amin (73) belum kuasa menghapus peristiwa pilu yang dialami putranya Muhammad Syukur pada peristiwa Simpang KKA 1999. Sore itu, saat duduk di beranda rumah bersama keluarga di Gampong Cot Geurundong, Kabupaten Bireuen, tiba-tiba ia dan keluarga mendengar berita kalau putranya Muhammad Syukur menjadi salah seorang korban penembakan pada Tragedi simpang KKA, berita itu tidak begitu saja beliau percaya karena putranya sedang menimba ilmu di salah satu pesantren ( Dayah ) di Kecamatan Sawang Aceh Utara, Muhammad Syukur kala peristiwa itu baru berumur 14 tahun.
Belakangan keluarga menemukan informasi dari salah seorang warga sekampung , kalua putranya Muhammad Syukur dalam keadaan sekarat kondisi kesehatan serta fisiknya buruk karena terkena tembakan.
Kian hari kesehatannya terus menurun hingga akhirnya Muhammad Syukur di rujuk ke RS Zainal Abidin Banda Aceh. Ibu Kamaliah Amin dan Sri Wahyuni dan keluarga yang lain tidak tahu siapa pelaku penembakan tersebut, namun atas informasi bahwa dia tertembak pada peristiwa simpang KKA. Setelah sembuh Muhammad Syukur tidak dapat melakukan aktifitas dan tidak dapat melanjutkan menuntut ilmu di dayah sebagaimana yang menjadi cita-citanya, dan akhirnya hingga hari ini Muhammad Syukur terganggu mental, keluarga Muhammad Syukur hidup dalam perekonomian yang sulit.
”Sampai sekarang saya belum bisa melupakan, saya masih trauma,” ujar Ibu Kamaliah Amin dan Sri Wahyuni apalagi dengan kondisi Kesehatan mental Muhammad Syukur yang memerlukan perhatian kita bersama untuk pemulihannya.
Rasa trauma itu terus membuntutinya hingga kini karena tidak pernah dipulihkan secara maksimal. Meski begitu, dukungan dari keluarga, dan Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA ( FK3T-SP.KKA ) membuat keluarga bisa bangkit dan terus berusaha untuk adanya kebenaran dan keadilan.
Apa yang dirasakan oleh keluarga Muhammad Syukur mungkin juga dirasakan oleh banyak korban konflik Aceh. Mereka tumbuh dalam bayang-bayang kekerasan masa lalu. Program pemulihan trauma dan pemberdayaan nyaris tidak ada, sementara bantuan pengembangan ekonomi sebagian tidak tepat sasaran.
Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh ( FK3T-SP.KKA ) Kabupaten Aceh Utara Murtala mengatakan telah 26 tahun mereka bersuara menanti keadilan, tetapi nyaris tidak ada yang mendengar. ”Kami menanti keadilan bukan hanya pemulihan trauma dan ekonomi, melainkan juga peradilan,” ujar Murtala.
Tragedi kekerasan di Simpang KKA terjadi pada 03 Mei 1999. Sebanyak 21 warga sipil meninggal dan 146 warga luka-luka. Awal tahun , Januari 2023, negara mengakui tragedi KKA sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Selain Simpang KKA, negara juga mengakui peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Satuan Taktis dan Strategis di Pidie (1998) serta kekerasan di Jambo Keupok Aceh Selatan (2003) sebagai pelanggaran HAM berat. Pemerintah berjanji akan memulihkan psikologis hingga perbaikan ekonomi korban.Sebenarnya peristiwa pelanggaran pada masa konflik terjadi lebih banyak dari yang diakui negara, misalnya peristiwa pembunuhan di Sungai Arakundo (Aceh Timur), penembakan di Dayah Tgk Bantaqiah Beutong Ateuh (Nagan Raya), penyiksaan di gedung KNPI (Lhokseumawe), dan penghilangan paksa di Timang Gajah (Bener Meriah) Bumi Flora dan lain sebagainya.
Meski negara memberikan harapan akan memulihkan fisik dan trauma, Murtala masih menginginkan pelaku pelanggaran HAM berat diadili. ”Pertemukan pelaku dengan keluarga korban. Negara tidak boleh memaafkan pelaku, sebab itu adalah hak korban,” kata Murtala.
Walaupun negara telah mengakui tragedi Simpang KKA sebagai pelanggaran HAM berat, para korban masih ragu negara akan menunaikan semua hak korban dan menyeret pelaku ke persidangan.
Salah seorang penyintas sekaligus Sekretaris FK3T-SP.KKA Yusrizal (44), menuturkan, pemerintah tidak hadir sepenuhnya untuk memulihkan trauma dan pemberdayaan pada korban konflik. Para korban dipaksa berdamai dengan pengalaman pilu masa lalu.
”Tidak ada program pemulihan trauma pemberdayaan khusus bagi korban konflik. Dampak serius, beberapa korban mengalami gangguan mental dan kejiwaan,” ujar Yusrizal.
Yusrizal sendiri berusaha keras menguburkan tragedi yang dialami di masa konflik. Ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI bersepakat mengakhiri konflik bersenjata pada 15 Agustus 2005 di Finlandia, Yusrizal berharap pemulihan trauma dan pemberdayaan ekonomi korban jadi prioritas. Namun, faktanya, korban kian jauh dari keduanya. Padahal dana otonomi khusus yang digelontorkan pemerintah pusat untuk Aceh begitu banyak, adakah dari sekian banyak dana tersebut diperuntukkan untuk korban konflik Aceh?
Yusrizal mengatakan, kemungkinan korban konflik tidak terdata dengan rapi sehingga penyaluran bantuan tidak tepat sasaran. Ia juga menemukan diskriminasi bantuan antara laki-laki dan perempuan, akibatnya terjadi kesenjangan konflik ekonomi sesama korban.
Meski demikian, para penyintas konflik tidak menyerah pada keadaan. Mereka berusaha saling mendukung untuk tumbuh bersama. Di bawah dampingan Lembaga FK3T-SP.KKA dan Lembaga local Aceh dan Nasional, para korban didorong untuk berdaya, sebagian jadi kader kesehatan dan pendamping korban.
Lebih jauh Murtala, mengatakan, Aceh tidak punya rencana induk atau master plan pemulihan korban konflik secara khusus, akibatnya, korban tidak terberdayakan.
Menurut Murtala, Pemerintah Aceh wajib menyediakan anggaran khusus untuk setiap momentum peringatan atau mengenang peristiwa besar bersejarah seumpama Tragedi Simpang KKA, Rumoh Geudong, Jambo Keupok, Tragedi Arakundo dan peristiwa lainnya di Aceh, kita juga berharap dalam momentum peringatan 20 Tahun Perjanjian damai MoU Helsinki ini, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat untuk dapat memastikan Pemulihan, Pemberdayaan Ekonomi Korban termasuk untuk penyediaan lahan guna Pembangunan museum di setiap peristiwa berdarah yang dikategorikan pelanggaran berat HAM sebagai ruang memorial kolektif merawat perdamaian. ”Dokumen berkaitan dengan konflik dan perdamaian perlu dirawat agar menjadi pengetahuan generasi masa depan, sebisa mungkin untuk membuat kurikulum sejarah konflik Aceh” ujar Murtala.
Lebih lanjut Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA ( FK3T-SP.KKA ) Murtala mengatakan, untuk menguatkan perdamaian, pemulihan psikologis dan pemberdayaan Korban dan Keluarga Korban mutlak harus dilakukan. Tanpa pemulihan, korban akan terus memandang Pemerintah sebagai pihak yang abai terhadap dan membiarkan impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM.
”Kebutuhan korban bukan hanya ekonomi, melainkan juga pemulihan trauma dan keadilan,” kata Murtala.
Penantian korban konflik untuk mendapatkan hak pemulihan trauma, reparasi, dan proses hukum terhadap pelaku kekerasan telah berlangsung cukup lama. Sampai kapan kami harus menanti?” (ril)
Posting Komentar